Sang Pengibar bendera Pusaka

Saat Sang Saka Dikibarkan...

Pagi itu, tanggal 17 Agustus 1945, Ilyas Karim dan teman-temannya dari Angkatan Muda Islam (AMI) sedang berkumpul di markas mereka, Jalan Menteng 31. Seperti biasa, anak-anak muda nasionalis itu selalu serius membicarakan situasi politik terakhir menjelang kemerdekaan Indonesia.

Tanpa diundang, tiba-tiba datanglah Latief Hendraningrat, salah satu ChuDancho (komandan) PETA (Pembela Tanah Air) di Jakarta. ”Ayo, kamu semua ikut saya ke Pegangsaan Timur. Di sana mau ada keramaian!” ajaknya. Tanpa banyak komentar, bersama sekitar 50 orang anggota AMI, Ilyas bergegas. Sesampainya di sana, mereka segera bergabung dengan banyak orang yang sudah hadir lebih dulu. Cuaca pagi itu tidak begitu panas dan suasana di rumah besar itu tampak tenang. Daerah sekitar Pegangsaan Timur dijaga ketat oleh anggota PETA. Keluar dari dalam sebuah ruangan, Latief kembali menemui Ilyas. Tanpa basa-basi ia bertanya, ”Kamu bisa mengibarkan bendera nggak?” Ilyas yang saat itu tidak menggunakan alas kaki segera menjawab, ”Bisa Pak!” ”Baik, nanti kamu bertugas mengibarkan bendera bersama Singgih,” perintah Latief.
Pada sekitar pukul sepuluh pagi, peristiwa bersejarah itupun terjadi. Proklamasi KemerdekaanIndonesia pun dilaksanakan. Didampingi Bung Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi yang menandai diumumkannya pernyataan kemerdekaan Indonesia di depan rumah nomor 56 itu.
Tak lama setelah itu, Latief Hendraningrat Latief menuju ke pintu rumah Bung Karno. Dari tangan Ibu Fatmawati, Latief menerima sebuah bendera berwarna Merah-Putih. (Bendera yang dijahit sendiri oleh Ibu Fatmawati dari dua carik kain yang diperolehnya dengan susah payah itu kelak disebut sebagai bendera pusaka). Berbalik ke halaman, bendera itu diserahkan Latief kepada Singgih yang memakai seragam PETA (karena ia juga salah seorang ChuDancho) dan Ilyas Karim yang mengenakan celana pendek. Kedua pemuda itu segera menuju tiang bendera. Di depan tiang, Singgih meraih tali dan mengikatkan bendera. Setelah siap, Latief memberi abaaba penghormatan kepada bendera dan seluruh hadirin memberikan penghormatan.
Diiringi paduan suara sebuah sekolah yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, Singgih menarik tali dan mengerek bendera Merah Putih naik perlahan ke puncak tiang. Ilyas memegangi bagian tali yang lain sambil mengulurnya mengikuti tarikan Singgih dan menjaga agar bendera berkibar
tidak terjepit. Akhirnya, bendera sampai di puncak tiang. Dan itulah kali pertama bendera Merah Putih berkibar secara resmi sebagai bendera kebangsaan Republik Indonesia.
Foto Ilyas mengibarkan bendera kini terabadikan dalam buku-buku sejarah. Tubuh cekingnya tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih, sementara Singgih mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati mendongak ke atas menyaksikan bendera yang mulai naik ke puncak tiang. (Foto itu merupakan satu dari dua foto peristiwa proklamasi yang paling terkenal).
Seusai upacara, Bung Karno mengajak hadirin masuk ke ruang tengah rumahnya untuk menyantap makanan ringan. Ilyas bergabung dengan tamu yang lain dan ikut makan kue, termasuk kue bolu yang didatangkan dari Senen. Bung Karno menghampiri Ilyas dan kawan-kawan sembari memberi wejangan. ‘’Kalian para pemuda. Belajarlah yang sungguh- sungguh. Kalau berdagang, berdaganglah yang sungguh-sungguh’ ‘ ucap sang founding father. Namun, beberapa saat kemudian, ada yang menyuruh agar kue-kue dibawa keluar dan dimakan di halaman. Ternyata, itu hanya cara para pemimpin ”mengusir” hadirin secara halus dari dalam rumah.
Bung Karno, Bung Hatta dan para tokoh politik kemudian mengadakan pertemuan di dalam rumah itu. Ilyas sendiri tak tahu apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Bersama teman-temannya ia ikut keluar ke halaman, lalu membubarkan diri setelah semua hadirin pulang. Sesampainya di rumah, Ilyas segera menemui ibunya dan menceritakan kalau tadi ia bertugas mengibarkan bendera Merah Putih di Pegangsaan Timur seusai Bung Karno membacakan naskah Proklamasi. Ibunya sangat gembira dan berkata, ”Syukur Alhamdulillah. Akhirnya kita merdeka juga, ya. Semoga apa yang kamu lakukan tadi dapat ridho dari Allah.”
Itulah sebuah pengalaman yang detilnya begitu lekat di kepala Ilyas Karim, sampai kini usianya mencapai 80 tahun lebih. Perannya sangat besar, walaupun di hari-hari seputar Agustus 1945 itu semuanya seolah ”lenyap” ditelan hingar-bingar suara mengelu-elukan Soekarno-Hatta dan kegembiraan mencapai kemerdekaan. “Saat itu, dari AMI ada 50 pemuda yang ikut ke Pegangsaan Timur 56. Saya juga tidak mengerti, mengapa akhirnya saya yang dipilih oleh Latief untuk ikut mengibarkan bendera. Barangkali, ini hanya keberuntungan saya,” katanya.
Pada 17 Agustus 1945 itu, anak-anak muda AMI memang diberi tugas oleh Chaerul Shaleh untuk mengawal prosesi proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur. ChuDancho Singgih, yang saat itu tentara PETA, ditugaskan mengerek bendera. Latief Hendraningrat-lah yang kemudian menugaskan Ilyas membantu Singgih memegangi bendera. Dari 50-an pemuda AMI, kebetulan Ilyas yang paling muda, 18 tahun, dan badannya paling kecil. ‘’Dipikirnya saya yang paling gesit,’’ kata dia sembari terkekeh.
Untungnya Ilyas punya pengalaman mengibarkan bendera ketika sekolah tarbiyah di Banten. Bedanya yang ia kibarkan saat itu adalah bendera Belanda. Lagunya pun lagu kebangsaan Belanda. Dipilih mengibarkan bendera saat proklamasi, kontan saja Ilyas merasa bangga Peristiwa itu mahapenting. ‘’Itu adalah titik balik bagi Indonesia dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Dan, saya terlibat dalam peristiwa paling bersejarah itu,’’ katanya.
Keberuntungan itu bagi Ilyas merupakan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Namun, bagi pemuda Indonesia, sosok Ilyas Karim yang muncul sebagai salah satu pelaku sejarah kemerdekaan adalah sebuah simbol.
Dan bagi Paskibraka, sosok Ilyas bukan saja mewakili pemuda, tapi juga remaja berusia 18 tahun yang kemudian mengilhami gagasan pengibaran bendera pusaka oleh Paskibraka.***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sang Pengibar bendera Pusaka"