Menjelang Detik-detik Proklamasi

Proklamasi  Kemerdekaan, yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, adalah sebuah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Proklamasi, telah mengubah  perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan.Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi  itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.



Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat  kediaman Bung Karno, berlangsung  perdebatan   serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87).


Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak  bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada  waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,  Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa  usul para  pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan  timbulnya  banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda  nampak tidak puas. Mereka mengambil  kesimpulan yang  menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan  kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta. Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak  mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan  rencana mereka sendiri. Di sebuah  pondok  bambu berbentuk panggung  di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas.

 

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang   harus dilaksanakan  di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput  tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali  ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro,  ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi




Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada  Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno  dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
 
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta  kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di  lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan  tokoh-tokoh lainnya,  baik  dari golongan tua maupun  dari  golongan pemuda, menunggu di serambi muka.


Setelah kelompok yang menyendiri di  ruang  makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di  ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi diketik, kami  menggunakan kesempatan  untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang  dapur, yang telah disiapkan sebelumnya  oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami  belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah  diketik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya  bercampur dengan  beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri  di samping  saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka  pertemuan dini hari itu dengan beberapa  patah kata.
  
Naskah  yang sudah  diketik oleh Sajuti Melik,  segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan  timbul mengenai  bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan  kepada  rakyat  di seluruh Indonesia ,  dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut  Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong  ke lapangan IKADA pada  tanggal 17 Agustus  untuk mendengarkan Proklamasi  Kemerdekaan. Akan tetapi  Soekarno  menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih  baik dilakukan  di tempat kediaman saya di Pegangsaan  Timur. Pekarangan  di  depan  rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing  insiden? Lapangan  IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan  kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan  terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan  Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi.” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi

Hari  Jumat di bulan Ramadhan, pukul  05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan  kemerdekaan bangsa Indonesia hari  itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja pada pers dan  kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada  Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan  seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan  satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di  belakang rumah. Bambu  itu dibersihkan dan diberi  tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera  yang dijahit  dengan  tangan oleh Nyonya  Fatmawati  Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak  standar, karena kainnya berukuran tidak  sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara  itu, rakyat yang telah mengetahui  akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang  tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang  sakit,  malamnya panas dingin terus  menerus  dan baru  tidur  setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak  berdatangan, rakyat yang telah menunggu  sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka  yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan  teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih  dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian.  Ia  juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
“Saudara-saudara sekalian! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia  telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa  kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman  Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada  mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil  nasib bangsa dan nasib tanah air  kita  di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan  sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seiya-sekata  berpendapat,  bahwa sekaranglah  datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan  tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: 
PROKLAMASI; Kami  bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal  yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta , 17 Agustus 1945. 
Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi  yang mengikat tanah air kita dan  bangsa  kita! Mulai saat  ini kita menyusun  Negara  kita!  Negara Merdeka.  Negara Republik Indonesia  merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu”. (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud  mengambil bendera dari  atas baki  yang  telah disediakan   dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan  lagu Indonesia Raya. 


Setelah upacara pembacaan Proklamasi  Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77) mengemukakan bahwa ada sepasukan  barisan pelopor yang berjumlah kurang  lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki  halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang  penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung  Karno membacakan  Proklamasi sekali lagi.  Mendengar teriakan itu Bung  Karno tidak  sampai  hati,  ia  keluar  dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar  keterangan itu  Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi  amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai  upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Peristiwa  besar  bersejarah yang  telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung  hanya satu  jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan  yang  luar biasa  dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. “Gema lonceng kemerdekaan”  terdengar  ke seluruh   pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para  pemuda, mahasiswa,  serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu  ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, sekalipun telah disegel oleh pemerintah  Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.


"Sebagai generasi muda pelanjut estafet pembangunan kita wajib mengetahui dan menghormati sejarah bagaimana para pendahulu kita mengorkorban Darah, Air mata dan Keringat untuk kemerdekaan kita saat ini.

Maka kita yang ada sekarang ini harus bisa berbuat yang terbaik untuk Bangsa dan Negara Indonesia.
Sehingga tak sia-sia pengorbanan para pendahulu kita, dan kitapun menjadi sejarah dimasa depan"   Oleh: MOH.RM Lamakarate 
 
Sumber : Ruanghati .com Kilas Balik Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menjelang Detik-detik Proklamasi"